![]() |
Eva dan Evi bermain air di Green Valley |
Sejak kecil, kami ingin sekali jadi pecinta
alam. Terbayang betapa serunya bertualang ke hutan, menyusur goa, sampai rafting di sungai. Pada akhirnya, Evi
memang berhasil masuk ke perhimpunan pecinta alam di kampusnya, sedang Eva
tidak melanjutkan pendidikan pecinta alamnya sejak SMA. Kayaknya beda di
semangatnya nih.
Ternyata setelah besar makin kelihatan kalau
Eva phobia ketinggian plus takut air. Bagian takut airnya ini Eva sama Evi
kompakan. Tapi bukan berarti kami enggak suka main air di sungai. Kalau ketemu
sungai sih betah berlama-lama di sana. Cuman buat loncat dari ketinggian tebing
ke air sungai sih, enggak terbayang sebelumnya. Soalnya itu paduan phobia-nya
Eva, Eva udah ngeper duluan sebelum melakukannya.
Sampai suatu hari pada bulan November 2015, kami
mendapat undangan dari Landra—pembawa
acara segmen One Day In di program Morning Show Net TV. Kami diminta
menjadi host tamu untuk petualangan
di Sungai Citumang. Antara senang dan deg-degan, kami sempat mikir dulu, “Bisa
enggak ya, loncat dari ketinggian ke sungai?” Kami berpikir, kalau enggak
mencoba, mana mungkin kami bisa menaklukan ketakutan? Akhirnya, kami terima
tantangan itu.
Adventure
begins....
Tim kami yang terdiri dari Landra, dua
kameramen yaitu Erwin dan Oswald, dan Pak Dadang berangkat sehari sebelumnya
dari Bandung. Setelah menginap semalam, pagi-paginya kami menuju Citumang, yang
tepatnya berada di Desa Bojong, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Ngomong-ngomong, penasaran enggak sih kenapa sungainya
dinamai Citumang? Ternyata nama Citumang diambil dari Bahasa Sunda “Cai” yang
artinya air, dan kata “Numpang” yaitu cai numpang adalah air sungai yang
mengalir di bawah tanah. Ada juga yang menyebutkan nama itu berdasar pada kepercayaan
masyarakat akan legenda tentang seekor buaya buntung bernama Si Tumang. Sebagai
penghormatan terhadap buaya itu, dipakailah namanya untuk nama sungai tersebut.
Dari pemberhentian mobil, kami berjalan di
perbukitan ke kawasan sungai sekitar lima belas menit dipandu Kang Kaisar dan
Kang Yaya setelah sebelumnya memakai perlengkapan body rafting. Yang mesti dicatat, kita mesti memakai alas kaki yang
nyaman, supaya pijakannya mantap, soalnya tanahnya agak licin. Secara kami
jarang olah raga, ngos-ngosan juga kami, tapi tetep masang tampang lempeng sok
tegar biar kelihatan cool.
Sesampainya di sungai, semua lelah langsung sirna, terbayar oleh pemandangan
indah air terjun Green Valley. Airnya yang jernih berwarna kehijauan di
beberapa sisi, berwarna biru di sisi-sisi lain, dan pantulan matahari yang
membuat air berkilauan. Belum lagi eksotisnya bebatuan raksasa yang berdiri
kokoh, lalu akar-akar gantung yang menjuntai-juntai, surga banget deh.
![]() |
Green Valley |
Sambil deg-degan karena harus loncat dari
ketinggian lima meter, bersama Landra, kami menjelaskan dulu tempat yang kini
kami pijak dengan direkam Oswald. Buat pemanasan, tour guide meminta kami loncat dari batu setinggi satu meter. Kami
takjub banget melihat Landra dengan lincah meloncat dan berenang ke sana
kemari.
![]() |
Landra meloncat dari batu berketinggian satu meter |
Daripada kelamaan deg-degan, Eva memilih loncat duluan sebelum Evi. Evi
jelas dengan senang hati mengalah, hohoho. Meskipun cuman semeter, kami sempet
juga ragu-ragu. Tapi ternyata... sesudah masuk ke air, rasanya bahagia banget.
![]() |
Eva meloncat dari batu berketinggian satu meter |
Namun perjuangan sesungguhnya baru dimulai ketika kami naik ke batu dengan
ketinggian lima meter. Duh! Erwin dan Oswald, duo kameramen yang perhatian itu
sempat meminta tour guide kami supaya
kami jangan dipaksa loncat dari batu itu. Terharunya....
![]() |
Evi meloncat dari batu berketinggian satu meter |
Sebagai jalan tengah, instruktuk kami meminta
kami untuk meloncat dari batu berketinggian tiga meter saja. Awalnya kami
memang memutuskan untuk enggak loncat, tapi para tour guide terus menyemangati. Kata mereka, “Neng, sayang udah ke
sini enggak loncat. Kapan lagi, kan?”
![]() |
Evi, Landra, dan Eva berenang di Green Valley |
Dipikir-pikir, kami kan ke sini ingin
menaklukan ketakutan-ketakutan. Rasanya jadi percuma ketika kami menyerah
begitu saja. Akhirnya, meskipun gemeteran, kami naik juga. Butuh perjuangan
buat naik ke atas batu tersebut karena permukaannya licin dan kami hanya bisa
berpegangan pada akar-akar pohon. Seperti biasanya, di tempat tinggi, Eva
bakalan gemeteran. Tapi memang kekuatan direkam kamera bisa memberi sugesti
besar. Eva berhasil mengendalikan diri. Kalau Evi sih memang enggak bermasalah
sama ketinggian, dia tampak santai aja. Eva memutuskan lagi-lagi buat loncat
duluan. Soalnya serem juga kan kelamaan di tempat tinggi gitu.
![]() |
Eva, Evi, dan Landra mau meloncat dari batu berketinggian tiga meter |
Berkali-kali Eva memastikan kalau Akang tour guide bakal menemani meloncat,
“Beneran ya, Kang, nanti loncatnya ditemenin.” Akang tour guide mengangguk buat kesekian kali. *puk-puk akangnya*
Setelah Landra meloncat dengan indahnya,
giliran Eva meloncat dipegang Akang tour
guide. Kata Eva, “Bentar ya, Kang, ngambil napas dulu.” Setelah teriak buat
ngilangin ketegangan, Eva berhasil meloncat juga. Rasanya tuh kayak terbang
sesaat, dan pas menyentuh air, ada sensasi menyenangkan. Sesudahnya Eva
ketawa-ketawa saking bahagianya. Eva nyemangetin Evi yang masih tegang di atas.
Evi akhirnya meloncat juga ditemani Akang tour
guide. Rasa segar dan lega menyerbu bersamaan. Kami merasa diterima dengan
hangat oleh sungai.
Sementara itu, di seberang sungai, Oswald terus
mengawasi kami lewat lensa kameranya, sedangkan Erwin menyiapkan drone untuk merekam gambar dari atas. Selesai
mengambil gambar, keduanya bergabung bersama kami. Landra, Oswald, dan Erwin
meloncat beberapa kali. Saking keliatan santainya, kami enggak nyangka ternyata
Erwin ini takut ketinggian juga sama kayak Eva.
Melihat kami keasyikan
berenang-renang—tentunya Eva dan Evi tetap setia dengan pelampungnya, sedang
Landra, Oswald, dan Erwin sudah melepas pelampung dari abad lima
belas—instruktur kami mengingatkan bahwa kami jangan sampai kehabisan energi
dulu, soalnya perjalanan masih panjang.
![]() |
Lapangan depan sungai Citumang |
Siangnya kami berpindah ke Goa Kalinumpang
setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit. Sesampainya di sana, tubuh kami
yang tadi basah banget menjadi agak kering. Di sana terlihat lapangan yang
cukup luas dengan pemandangan batu bertuliskan Citumang. Beberapa langkah dari
sana terhampar sungai jernih kebiruan. Bedanya dengan Curug Lampeng Green
Valley tempat kami meloncat tadi, tempat ini tampak ramai pengunjung. Bahkan
ada bule-bulenya.
![]() |
Mulut Goa Kalinumpang |
Uniknya, Goa Kalinumpang ini sebenarnya
terhubung dengan Green Valley, hanya saja tertutup oleh batu yang sangat besar.
Untuk mencapai batu tersebut, kami harus masuk ke dalam sambil body rafting—kami mengaitkan kaki dengan
badan terlentang—dipimpin instruktur, karena kedalaman airnya tiga sampai
delapan meter. Dalem juga kan. Ujung goa meskipun tidak jauh dari mulutnya,
cukup gelap. Sebelum sampai kembali ke mulut goa, kami sempat meloncat dari
satu cekungan goa. Meskipun enggak tinggi, agak sulit juga naik ke sana, kami
harus dibantu oleh instruktur.
![]() |
Body rafting dari ujung Goa Kalinumpang |
Selesai meloncat dari cekungan itu,
instruktur menantang kami untuk loncat dari ketinggian tujuh meter dari batu di
atas mulut goa. Untuk sampai ke sana, pengunjung harus menaiki akar-akar.
Sayangnya, di antara kami dan Landra, tidak ada yang mau menerima tantangan
itu. Untungnya di antara crew, Erwin
dan Oswald memberanikan diri untuk menguji nyali. Tapi melihat dari ketinggian
tujuh meter ke air, Erwin mengurungkan niatnya. Sedangkan Oswald berhasil
terjun.
![]() |
Oswald berada di atas batu berketinggian tujuh meter |
Kami yang melihat dari bawah memberi semangat sambil ikut deg-degan.
Kata Oswald nih, dari atas sana dasar air kelihatan jelas, seakan dia bakalan
meloncat ke batu-batu di bawahnya. Pantesan aja pas di atas, Oswald
berkali-kali meminta kami untuk menyingkir. Padahal sih kami udah mepet ke
pinggir.
![]() |
Oswald meloncar dari atas batu berketinggian tujuh meter |
Kami sempat rehat dulu buat makan. Tour guide kami sudah menyiapkan liwetan
berupa nasi mengepul, tempe, tahu, dan ayam goreng yang disajikan di atas daun
pisang. Sebagai pelengkap, ada sambal dadak yang pedasnya bikin ketagihan.
Capek, angin semilir, pemandangan pepohonan, dan teman mengobrol yang seru
bikin makanan terasa jauh lebih nikmat. Oh iya, jangan lupa sediakan plastik
sampah ya. Jangan sampai sisa makanan dan minumanmu malah mencemari lingkungan
dan sungai. Mari sama-sama menghargai alam.
![]() |
Menu makan siang nasi liwet |
Matahari sudah berada di puncak ketika kami
diberi tantangan terakhir. Landra yang sepertinya enggak pernah kehabisan
energi, dengan senang hati melompat dari ujung sungai ke bawah. Sementara Eva
dan Evi—lagi-lagi—ditemani instruktur.
![]() |
Melompat dari ujung sungai Citumang |
Enggak selesai sampai di situ, kami juga
masuk ke dalam air terjun kecilnya. Ternyata, di dalam ada area keringnya loh.
Luar biasa. Bentuknya lingkaran, sehingga kami bisa berjalan memutarinya.
Untungnya kami datang saat musim kemarau, kalau musim hujan, tempat itu enggak
bisa dimasuki karena penuh oleh air, kalau nekad masuk juga sangat berbahaya
karena ada arus air berputar.
![]() |
Eva, Evi, dan Landra berenang di sungai Citumang |
![]() |
Eva, Evi, dan Landra masuk ke dalam goa di bawah air terjun sungai Citumang |
Landra kembali memperlihatkan kekerenannya, dia
melompat ala Tarzan dari akar pohon ke sungai, sedang kami berenang-renang saja
di tepian sambil menontonnya.
![]() |
Landra melompat ala Tarzan menggunakan akar gantung |
Petualangan siang itu kami akhiri dengan body rafting menyusuri Sungai Citumang
yang berujung di waduk. Body rafting ini
menyusuri sungai dengan mengikuti aliran air menggunakan pelampung dengan
posisi tubuh terlentang beriring-iringan mengaitkan kaki ke ketiak satu sama
lain dipimpin pemandu. Sensasinya seru banget, merasakan air sungai menjadi
bagian dari tubuh kami. Bersatu dengan alam. Ditambah lagi pemandangan hutan
jati yang indah, karena sungai ini berada di tengahnya. Di beberapa spot sungai
yang kering, kami harus berjalan kaki.
![]() |
Sungai Citumang saat musim kemarau |
Dan... yang paling mengesankan adalah
saat menyusuri waduk yang kiri-kanannya terdapat tembok bebatuan. Rasanya
sangat menenangkan. Dari bawah, kami melihat dedaunan di pohon. Semesta seakan
tersenyum bersama kami.
![]() |
Waduk yang tenang |
![]() |
Waduk yang tenang |
Jika kamu berminat merasakan sensasi body rafting di sungai Citumang, bisa menghubungi Kaisar Koboi di 085353438834 atau 087725988284. Petualangan kami itu diabadikan oleh Net TV di
segmen One Day In Pangandaran.
Silakan menonton di sini:
11 komentar:
bening banget ya sungai citumang.
jadi pengen kesana berendam disungainya
Sudah masuklist tempat yang akan dikunjungi:) asik sigana.
waa keren banget tempatnya ya.., aku juga dari dulu suka banget naik gunung, susur pantai dan caving, tapi udah lama banget nih gak berkegiatan outdoor lagi, huhuhu..
Wow masuk tv#gagalfokus. Dari dulu saya pingin rafting, masuk gua dll, tp pas ada tawaran eh malah lg hamil. Ada lagi, eh habis sc,jadilah dg sabar menunggu waktu yg tepat dulu. Salam semangat!
Mbak Endah, bakalan betah banget berendemnya :D
Kang Benny, highly recommended pokona mah ^_^
Ayuk, Mbak Zata, dimulai lagi. Jadi petualang kayak dulu ^_^
Mbak Dian, semoga secepatnya waktu tepat itu datang :D
Waaahh.... asik ya. Kapan ya saya bisa ke tempat ini.
Salam blogger, twins!!!
Piece of writing writing is also a fun, if you know then you can write if not it is difficult to write. netflix.com login
Commercial real estate property loans are fairly considered illiquid assets. canada mortgage calculator Then add another additional payments you'd probably like to make be it one-time, weekly, biweekly, monthly, quarterly or yearly. canada mortgage calculator
Posting Komentar